Beberapa kali saya terlibat dalam penanggulangan terorisme, dan sepengalaman saya, tidak ada faktor atau background khusus bagi teroris zaman now. They can be anyone from any background.
Jika para "pengantin" yang telah meledakkan diri atau ditangkap dari generasi zaman old didominasi oleh mereka dengan background social dan ekonomi "bermasalah", maka teroris zaman now ini justru secara mengejutkan tidak demikian.
Mereka ada yang orang kaya, mantan pejabat, bahkan ada yang mantan polisi. Secara pendidikan, there is no single education background. Jika ada yang mengatakan bahwa pasti anak-anak pesantren, maka hal tersebut bisa saya pastikan salah besar.
Ada anak SMA, dosen, bahkan ada yang tidak sekolah. Maka, sekali lagi, they can be anyone.
Menghadapi kenyataan yang demikian, justru lebih sulit dan merupakan PR besar bagi penegak hukum di negara kita.
Jumlah simpatisan ISIS yang ada pada skala jutaan, serta cepatnya proses radikalisme dari nol sampai siap meledakkan diri yang hanya memakan waktu beberapa minggu, juga merupakan PR bagi kita bersama.
Kenapa penetrasi paham radikal zaman now berbeda targetnya dengan zaman old? Jawabannya, media sosial.
Zaman dulu, perekrutan lebih kepada perkumpulan dan kopdar. Sehingga para aktor intelektual dibalik aksi teror dapat memilih targetnya yang berpotensi untuk bisa dilamar menjadi "pengantin". Biasanya latar belakang mereka dari yang trouble-trouble itu.
Ada penelitian tentang hal tersebut yang ditulis oleh Irjen Pol Totoy Hirawan, sebelum menjabat sebagai Kapolda Bali. Dengan adanya media sosial, perekrutan mejadi lebih massif.
Aktor intelektual cukup membuat konten yang berisi propaganda dan ideologinya, lalu sebarkan. Spekulasi dari perhitungan jumlah konten yang dibagikan, tentunya ada beberapa yang pasti nyangkut, bahkan para penebar tadi tidak perlu tahu siapa "pengantinnya".
Sementara, teroris zaman old berbeda. Sebelum melakukan aksi, mereka akan mendapat pembinaan, karantina, penggemblengan, dan ritual khusus dari para pembimbingnya.
Kalau teroris zaman now, mereka cukup liat tutorial, baca postingan, liat video, lalu bisa beraksi bahkan tanpa komando.
Setiap momentum atau event yang potensial, bisa menjadi percikan yang membakar mesiu di kepala mereka untuk melakukan "amaliah".
Ibarat berburu, teroris zaman old pakai bedil untuk membidik "pengantin". Sedangkan teroris zaman now menggunakan apotas atau jaring, tebar jaring tebar racun, nah siapa yang nyantol, nih tutorialnya… good luck!
Pasca-aksi teror di Indonesia pekan terakhir ini, akan banyak muncul kontroversi. Mulai dari yang berkoar bahwa hal tersebut adalah settingan, sampai munculnya berbagai teori konspirasi.
Silahkan berdiskusi, selama itu baik dan tidak melukai hati yang lain.
Jangan malah menimbulkan psychological terrorism dengan pemojokan-pemojokan dan bullying satu sama lain. Ini tidak menghormati para korban.
Bagi yang men-share foto-foto korban, mohon dihapus. Selain mendoakan, paling tidak itulah hal yang bisa kita lakukan.
Adanya peningkatan kewaspadaan mungkin akan menimbulkan gesekan kecil seakan-akan Islamophobia dan dianggap diskriminasi terhadap umat Islam. Itu juga jangan di-share. Kenapa?
Bagi kita mungkin akan membuat marah dan pengin berkata kasar, tapi bagi mereka yang telah terpapar radikalisme, hal ini justru akan menjadi motivasi bagi mereka untuk kembali ngebom.
Perasaan merasa dizalimi, merasa diserang tersebut dapat menjadi pemantik untuk melakukan aksi teror. Mereka akan semakin beranggapan bahwa "Polisi brengsek", padahal mereka menjalankan tugas dan sadar bahwa mereka adalah sasaran.
Fenomena ini juga pernah diutarakan oleh Pak Clark McCauley dalam "Psychological Issues in Understanding Terrorism and the Response to Terrorism".
Bayangkan bagaimana rasanya mengemban tugas menjadi aparat keamanan, yang bertugas untuk mengamankan sekaligus menjadi sasaran?
Saya ada teman dari Brimob yang juga muslim taat, pusing dengan dilema macam ini. Ingat, selain tempat ibadah umat agama lain, polisi juga menjadi sasaran utama.
Pengalaman hampir empat tahun di negara yang familiar dengan bombing dan kewaspadaan tingkat tinggi, memang begitu precaution measurement dalam counter terrorism. Di sana, mau masuk mal beli donat saja diperiksa kayak penjahat.
Memang betul, aksi teror mereka yang tidak bertanggung jawablah yang mengakibatkan adanya diskriminasi dan Islamophobia seperti itu. Namun jangan lupa, bahwa proyeksi yang menunjukkan Islam didiskriminasi adalah bahan bakar para teroris untuk bertindak keji.
Ini adalah lingkaran setan, mari kita setop lingkaran tadi di ujung jempol-jempol kita.
Mari kita kembali berkaca, bersama-sama kita jenguk tetangga-tetangga kita yang mungkin terlupakan, bahkan sedang kesulitan tanpa pernah ketahuan. Jangan sampai yang asing semakin terasing dengan kesibukan kita mengejar surga sebagai Abdullah, lalu lupa pada tugas kita sebagai Khalifatullah.
Dulu saat Allah ingin menciptakan manusia sebagai Khalifah, malaikat pada protes 'Ataj'alu fiiha man yufsidu fiha wa yasfiqud dima'?", Apakah Engkau akan menciptakan di atas bumi mereka yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?".
Allah menjawab,"Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang tidak kalian ketahui". Mari buktikan bahwa kekhawatiran malaikat tersebut tidak benar, show the best of our humanity!
Ini adalah masa-masa penting bagi kita semua. Sikap dan tindakan kita akan menjadi bentuk follow up terhadap kejadian yang telah berlalu.
Apakah akan menjadi upaya menuju kerukunan yang damai dan harmonis dalam bentuk persatuan dan kekuatan melawan terorisme? Atau menjadi arena adu bacot tak berkesudahan yang malah semakin memecah belah? Tombol pemicu dan pelatuknya ada digenggaman masing-masing. Stay alert, be wise!
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kalo Berita nya Ga lengkap buka link di samping https://www.liputan6.com/news/read/3531300/aksi-teror-di-indonesia-siapa-bertanggung-jawabBagikan Berita Ini
0 Response to "Aksi Teror di Indonesia, Siapa Bertanggung Jawab?"
Post a Comment