:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2351488/original/005962900_1536132983-20180905-Jokowi-Lantik-Gubernur-9.jpg)
Presiden Joko Widodo atau Jokowi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengarak sembilan gubernur dan wakil gubernur hasil Pilkada 2018 untuk dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/9). (Liputan6.com/HO/Wan)
Di sisi ekonomi, menurut Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE), Piter Abdullah, kinerja Jokowi-JK terbilang baik. Dukungan kejelasan konsep ekonomi yang digagas menjadi faktor penyebabnya yang dominan.
"Walaupun tidak bisa dibilang luar biasa, tapi secara keseluruhan saya nilai cukup baik. Ada dua hal yang kemudian mewarnai kebijakannya yaitu investasi dan daya saing yang didukung oleh kemudahan berusaha, serta ketersediaan infrastruktur," tutur dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
Menurut Piter, keberanian dan komitmen Jokowi-JK dalam menggenjot ekonomi Indonesia lewat pembangunan infrastruktur patut diapresiasi. Jokowi juga dinilainya berani menaikan harga BBM bersubsidi secara drastis di awal pemerintahan.
Yang jadi catatan Pieter, dunia investasi dan daya saing RI masih belum berdampak signifikan dalam periode 4 tahun itu.
"Kemudahan berusaha membaik, diikuti kenaikan peringkat daya saing namun semua tidak berarti apabila tidak diikuti oleh lonjakan pertumbuhan investasi. Dampaknya pertumbuhan ekonomi tertahan di kisaran 5 persen," kata dia.
Setali tiga uang dengan Piter, ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, menilai produktivitas dan daya saing masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi tim ekonomi Jokowi-JK.
"Dalam Indeks Daya Saing Global terbaru 2018, posisi Indonesia ada di 45. Dibandingkan Negara tetangga ASEAN Malaysia menduduki posisi 25 teratas, Thailand 38, dan Singapura peringkat 2," papar Bhima.
Ia melanjutkan, daya saing pasar international juga dapat dilihat dari target pertumbuhan ekspor nonmigas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah yakni baru 14,3 persen di 2019. Realisasinya Januari-September 2018 baru tumbuh 9,29 persen.
"Jadi untuk mencapai 14 persen butuh kerja ekstra, ditengah proteksi dagang yang dilakukan negara mitra seperti India dan AS. Jadi targetnya masih overshoot," ujar dia.
Yang jelas, berdasarkan statistik, Jokowi sukses menurunkan angka kemiskinan. Prestasi ini menjadi salah satu yang dibanggakan pemerintah.
Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan ditekan hingga single digit menjadi 9,82 persen atau sekitar 25,95 juta jiwa pada Maret 2018 di masa pemerintahan Jokowi-JK.
Padahal pada Maret 2015 angka kemiskinan masih 28,59 juta jiwa atau 11,22 persen. Tidak hanya itu, angka pengangguran juga merosot.
Pada Maret 2018 angka pengangguran sebesar 6,87 juta jiwa atau 5,13 persen. Dibandigkan pada Maret 2015, saat itu masih 6,18 persen atau 7,4 juta jiwa.
"Kita bersyukur apa yang kita kerjakan membuahkan hasil, kualitas kehidupan manusia dalam empat tahun terakhir terus membaik," ucapan Presiden RI Joko Widodo dalam Pidato Sidang Tahunan 2018 pertengahan tahun lalu.
Sementara itu, mengenai angka ketimpangan (gini ratio), pada Maret 2018 tercatat hanya 0,389. Sementara pada Maret 2015, angka gini ratio masih 0,408.
Hal ini tak terlepas dari pemerataan pembangunan yang dilakukan selama ini. Hasilnya, meski tipis, ekonomi Indonesia terus tumbuh di tengah gejolak sentimen global.
Pada 2015, pertumbuhan ekonomi RI 4,88 persen, pada 2016 5,03 persen, di 2017 sebesar 5,07 persen dan terakhir hingga semester 1 2018 pertumbuhan ekonomi RI 5,17 persen.
Di aspek inflasi pemerintahan Jokowi-JK juga mendapat pujian. Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia Ronny P Sasmita menganalisisnya sebagai salah satu keberhasilan pemerintah selama empat tahun ini.
"Kalau mengacu kepada Nawacita, dari sepuluh targetnya, inflasi yang bisa dikatakan berhasil terjaga," kata Ronny kepada Liputan6.com, Sabtu (20/10/2018).
Bank Indonesia (BI) menargetkan inflasi 3,5 persen plus minus satu persen pada 2018. Hingga September 2018, inflasi tercatat 2,88 persen. Tercatat deflasi September sebesar 0,18 persen.
Inflasi cenderung terjaga selama empat tahun pemerintahan Jokowi-JK. Hanya saja, inflasi ini nampaknya tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sebagian besar Nawacita, menurut dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Memang hal ini, menurut Ronny, harus dilihat dari beberapa sisi. Cenderung stagnannya pertumbuham ekonomi tidak hanya faktor dalam negeri, melainkan adanya sentimen dari luar negeri.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "HEADLINE: Pencapaian 4 Tahun Pemerintahan Jokowi, Apa PR yang Masih Tersisa?"
Post a Comment