Bangunan yang ambruk oleh gempa, korban-korban yang terperangkap di antara puing, tsunami yang datang tiba-tiba dari lautan, dan jasad-jasad manusia yang mengapung di pantai -- bukan itu saja gambaran mengerikan yang dipicu gempa magnitudo 7,4 di Sulawesi Tengah yang berpusat di darat.
Di sejumlah wilayah, air tanah tiba-tiba muncrat dari perut Bumi, mengubah tanah jadi lumpur yang lemas dan kehilangan daya topang. Akibatnya mengerikan, sejumlah bangunan amblas.
Video yang diunggah Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho memberikan gambaran mengerikan terkait fenomena likuifaksi (liquefaction) di Sigi dan perbatasan Palu.
Munculnya lumpur dari permukaan tanah yang menyebabkan amblasnya bangunan dan pohon di Kabupaten Sigi dekat perbatasan Palu akibat gempa 7,4 SR adalah fenomena likuifaksi (liquefaction) Likuifaksi adalah tanah berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatan. pic.twitter.com/uxTODECMEX
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) 29 September 2018
Secara terpisah, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, likuifaksi adalah penurunan tanah akibat memadatnya volume lapisan tanah.
Fenomena ini, kata Dwikorita, biasanya terjadi saat gempa bumi di daerah-daerah atau zona-zona dengan tanah yang mengandung air.
"Misalnya yang sering terjadi itu di dekat pantai atau di daerah gempa, ada lapisan yang mengandung air misalnya tanah pasir," jelas Dwikorita saat dihubungi oleh Liputan6.com, Senin (1/10/2019).
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini memaparkan, likuifikasi terbagi menjadi dua jenis. Ada yang berupa semburan air dari dalam tanah, yang keluar memancar seperti air mancur. Dan, ada juga berupa lapisan pasir yang padat karena gempa yang sangat kuat dan airnya terperas keluar, sehingga mengalir membawa lapisan tanah, yang kemudian nampak seakan-akan hanyut.
Berdasarkan pantauan dari media, Dwikorita menyatakan, likuifaksi yang terjadi di Palu adalah tipe yang tanahnya hanyut bersama air.
"Suatu massa tanah yang luas yang ikut hanyut bersama air tadi. Ini baru visual dari televisi, itu perlu dilihat lagi," ujar Dwikorita.
Proses likuifaksi ini terlihat jelas di Perumnas Balarowa, Palu, Sulawesi Tengah. Sebanyak 1.747 rumah ambles ditelan bumi seketika, saat gempa dahsyat mengguncang.
Sebelum ditelan bumi, ribuan rumah itu naik turun diguncang gempa dan akhirnya amblas sedalam 5 meter saat terhempas ke permukaan tanah.
Menurut Dwikorita, bahaya dari fenomena likuifaksi atau tanah bergerak ini adalah bangunan akan amblas masuk ke dalam tanah atau lumpur.
"Hal itu karena airnya terperas ke luar dan tanahnya memadat, jadi permukaan tanah turun. Pondasi bangunan yang ada di tanah itu jadi ikut turun, sehingga bangunannya amblas," ujar Dwikorita.
Saat kondisi ini terjadi, sebuah bangunan bertingkat akan amblas atau masuk ke dalam tanah dan hanya akan terlihat tingkat tengah dan atasnya saja.
"Jadi itu kekuatannya cukup tinggi, bisa menghanyutkan semua material benda-benda yang ada di permukaan tanah tadi," dia melanjutkan.
Di sisi lain, ada juga jalan yang naik setinggi rumah. "Nah di sini kita belum tahu berapa jumlah korban yang tertimbun di dalam Perumnas ini," ujar Sutopo saat konferensi pers di kantornya, Senin (1/10/2018).
Diperkirakan, jumlah korban akibat proses likuifaksi di Perumnas ini lebih dari 500 orang, dan petugas hingga saat ini masih kesulitan mengevakuasi korban.
"Sampai kemarin evakuasi masih dilakukan secara manual, karena posisi rumah ini berada pada jalur sesar Palu Kora, yang ketika terjadi gempa proses mekanismenya naik turun. Jadi ada sebagian rumah yang turun sedalam 5 meter, ada juga yang naik setinggi 2 meter. Otomatis kondisinya hancur," papar Sutopo.
Proses likuifaksi juga terlihat di kawasan perumahan Petobo, Palu. Saat gempa terjadi, papar Sutopo, muncul lumpur dalam massa dan volume yang sangat besar, sehingga menyebabkan perumahan di kawasan itu seperti hanyut ditelan lumpur.
"Kita kenal namanya likuifaksi, di mana lumpur keluar dari permukaan tanah karena adanya guncangan sedimen-sedimen yang ada di dalam tanah kemudian mencair, menyebabkan bentuknya seperti lumpur dan timbul, sehingga kita melihat fenomena di perumahan Patobo," urai Sutopo.
Di Petobo, sekitar 744 unit rumah diperkirakan tertimbun oleh material lumpur hitam. Petugas juga kesulitan melakukan evakuasi akibat likuifaksi ini.
"Sangat sulit, kalau rumah tertimbun atau korban tertimbun longsor masih relatif mudah, tetapi dalam kondisi yang ada di Petobo ini, cukup sulit dalam proses evakuasi," Sutopo menegaskan.
Cara Penanganan
Ahli Geologi Teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Imam Sadisun mengatakan, proses likuifaksi biasanya terjadi di endapan sedimen yang dominan pasir, juga di endapan sedimen muda (sedimen quarter) yang belum mengalami konsolidasi dengan baik.
"Sehingga proses likuifaksi tidak hanya terjadi di daerah pesisir, tapi juga di wilayah yang merupakan hasil endapan dari sungai atau danau," ujar Imam kepada Liputan6.com, Senin (1/10/2018).
Proses likuifaksi ini, lanjutnya, tidak hanya terjadi di Palu, tapi juga di daerah lain seperti di Lombok, ketika gempa mengguncang pulau ini Agustus lalu.
Namun, kata Imam, proses likuifaksi di Lombok tidak sedahsyat di Palu. Menurut dia, proses likuifaksi begitu dahsyat di Kota Palu karena kota teluk itu berada di atas endapan sedimen.
Guna mengetahui apakah sebuah daerah rentan likuifaksi bisa dilihat dari 3 indikator, yakni daerah itu rawan gempa, areanya dilandasi endapan sedimen, dan muka air tanah relatif dangkal.
"Di Indonesia banyak (kemungkinan terjadi likuifaksi) karena merupakan wilayah yang potensi gempanya tinggi, dan banyak area yang dibawahnya dilapisi endapan-endapan sedimen muda dalam umur geologi," tuturnya.
Bagaimana mengatasi likuifaksi ini?
Dwikorita menyatakan, diperlukan rekayasa setelah gempa selesai dan tidak ada guncangan-guncangan.
"Tergantung seberapa luas dampaknya. Kalau tidak terlalu luas, bisa. Tapi kalau sangat luas, ya tidak mudah. Rekayasa itu bisa tapi sangat dipengaruhi juga oleh seberapa besar volume dan luas area yang terlikuifaksi tadi," kata Dwikorita.
Senada dengan Dwikorita, Imam mengatakan, likuifaksi bisa dicegah dengan memperkuat material tanah atau sedimen menggunakan rekayasa. Teknik ini banyak dilakukan negara-negara rawan gempa, salah satunya Jepang.
Hingga per 1 Oktober 2018 pukul 13.00 WIB, jumlah korban meninggal akibat gempa tsunami Palu dan Donggala 844 orang. Dari jumlah itu, 821 orang korban meninggal di Palu, dan sisanya di Donggala. (Melissa Octavianti)
Kalo berita nya ga lengkap buka link di samping https://www.liputan6.com/news/read/3656772/headline-dahsyatnya-tsunami-palu-mengejutkan-dunia-apa-kata-ilmuwanBagikan Berita Ini
0 Response to "HEADLINE: Dahsyatnya Tsunami Palu Mengejutkan Dunia, Apa Kata Ilmuwan?"
Post a Comment